-
Email:
Callcenter_djid@komdigi.go.id -
Call us:
159 -
Webmail:
Surel

- Beranda
- Informasi & Publikasi
- Informasi Terkini
Siaran Pers
Sanksi Denda Berat Akibat Keterlambatan Pembayaran BHP Frekuensi Radio Berdasarkan PP No. 29 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran Dan Penyetoran PNBP Yang Terutang
Siaran Pers No. 133/PIH/KOMINFO/6/2009
(Jakarta, 17 Juni 2009 ). Pengelolaan spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam yang terbatas memiliki arti penting bagi kepentingan industri sekaligus bagi negara. Spektrum frekuensi radio selain memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan industri telekomunikasi terutama seluler, juga mempunyai peranan yang semakin penting dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Meskipun demikian dalam pengelolaan spektrum frekuensi radio yang diutamakan adalah ketertiban penggunaan spektrum frekuensi radio secara efisien, sedangkan PNBP merupakan akibat dari pengelolaan secara tertib dalam penggunaan spektrum frekuensi radio. Dengan kata lain semakin tertib penggunaan spektrum frekuensi radio akan berakibat pada meningkatnya perolehan PNBP tersebut.
Dalam tahun anggaran 2008, penerimaan PNBP Ditjen Postel Departemen Kominfo dari BHP frekuensi radio saja telah ditargetkan untuk dapat mencapai Rp. 4,61 triliyun dan untuk tahun 2009 ditargetkan untuk diperoleh sebesar Rp. 5,61 triliyun. Sejauh ini tingkat kepatuhan pengguna frekuensi radio dalam membayar BHP frekuensi radio secara umum sebagai wajib bayar) dalam membayar BHP frekuensi radio sudah cukup baik. Hanya saja bagi wajib bayar yang pindah alamat tanpa memberi tahukan keberadaan alamat barunya dapat menyulitkan dalam penagihan BHP frekuensi radio, karena tagihan yang disampaikan nyasar ke alamat lama. Tingginya penerimaan PNBP tersebut bukan berarti Departemen Kominfo hanya mengejar target PNBP saja, tetapi dalam realitanya juga mempertimbangkan berbagai kondisi, pandangan DPR, pandangan Departemen Keuangan dan juga tidak kalah pentingnya adalah berbagai masukan dari para pengguna frekuensi radio itu sendiri, khususnya para penyelenggara telekomunikasi sebagai yang dapat dikategorikan cukup dominan kontribusi PNBP-nya.
Akan tetapi, upaya untuk meningkatkan PNBP tersebut bukan suatu pekerjaan yang mudah. Selain karena minimal setiap tahun target harus terpenuhi, Departemen Kominfo khususnya Ditjen Postel juga selalu sistematis dan profesional managementnya sertaberkomitmen untuk transparan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena kesemuanya itu langsung disetorkan ke Kas Negara, sehingga tidak ada yang ditahan oleh Ditjen Postel. Ini belum lagi terhitung dengan sangat intensif dan telitinya psara pemeriksa keuangan (auditor) baik dari BPK, BPKP maupun Inspektorat Jenderal Departemen Kominfo yang selalu jeli dalam mengawasi proses dan laporan perolehan PNBP. Namun demikian, pada sisi lain, sering pula ditemu kenali adanya keterlambatan pembayaran BHP frekuensi radio, yang ujung-ujungnya sesungguhnya merugikan mereka yang terutang tersebut karena sanksi denda yang harus dibayarkan menjadi bertambah. Itulah sebabnya, Departemen Kominfo melalui Siaran Pers ini bermaksud menjelaskan regulasi yang terkait dengan tata cara penentuan jumlah, pembayaran, dan penyetoran PNBP yang terutang, sehingga dengan harapan agar para pengguna frekuensi radio dari yang setingkat penyelenggara telekomunikasi seluler hingga pengguna yang paling sederhana dan murah penggunaan frekuensinya sesuai dengan segmentasi frekuensinya dapat mengurangi tingkat keterlambatan pembayarannya.
Sebagaimana telah diatur dalam UU. No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, bahwa setiap penggunaan spektrum frekuensi radio wajib memiliki izin dari pemerintah dan pengguna frekuensi radio wajib membayar penggunaan frekuensi radio atau yang disebut dengan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi radio. BHP frekuensi radio adalah merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibayar di muka untuk masa penggunaan 1 tahun, yang dalam pengenaannya diatur berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 UU PNBP, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang. Dalam hal ini ada hal penting yang perlu diketahui masyarakat (PP tersebut relatif baru dan baru disahkan serta diundangkan dan berlaku mulai pada tanggal 24 Maret 2009 ) khususnya pengguna frekuensi radio, yaitu bahwasanya PP No. 29 Tahun 2009 tersebut mengatur lebih lanjut tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda. Masyarakat perlu mengantisipasi dengan pengelolaan penggunaan frekuensi radio dan izin penggunaan frekuensi radionya dengan tertib agar tidak berakibat terkena sanksi administrasi berupa denda tersebut.
UU PNBP menyebutkan, bahwa setiap keterlambatan pembayaran PNBP dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% per bulan dan pengenaan maksimal 24 bulan. Sedangkan dalam PP No. 29 Tahun 2009 diatur lebih lanjut, bahwa setiap terjadi keterlambatan pembayaran kekurangan PNBP yang terutang melampaui jatuh tempo pembayaran (akhir masa laku ISR), maka wajib bayar dikenakan sanksi administrasi berupa denda 2% per bulan dari jumlah kekurangan PNBP yang terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan penuh dan dikenakan untuk paling lama 24 bulan terhitung sejak PNBP yang terutang. Selama wajib bayar tidak melunasi jumlah PNBP yang terutang, maka sanksi administrasi berupa denda diperhitungkan sebagai PNBP yang terutang. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% hanya untuk selama 24 bulan sejak jatuh tempo, setelah itu tidak dikenakan denda lagi.
Sebagai contoh perhitungan sanksi denda 24 bulan adalah tersebut di bawah ini. Misalnya saja pokok PNBP yang terutang = Rp.100.000.000,00 dan jatuh tempo pembayaran tanggal 2 Januari 2008. Tetapi pembayaran baru dilakukan pada tanggal 3 Januari 2008 atau terlambat 1 hari dan itu sudah dihitung 1 bulan. Maka, jumlah PNBP yang terutang bulan ke 1 = (2% x Rp.100.000.000,00) + Rp.100.000.000,00 = Rp.102.000.000,- Sedangkan jumlah PNBP yang terutang bulan ke 2 = (2% x Rp.102.000.000,00) + Rp.102.000.000,00 = Rp.104.040.000,00, dan seterusnya sehingga apabila pembayaran PNP yang terutang tanggal 3 Nopember 2008, maka Jumlah PNBP yang terutang bulan ke 23 = Rp.100.000.000,00 + ((Rp. 157.597.967, x %) + Rp.54.597.967,08)) = Rp. 157.689.926,42. Apabila pembayaran PNBP yang terutang dilakukan tanggal 3 Desember 2008, maka Jumlah PNBP yang Terutang bulan ke 24 = Rp.100.000.000,00 + ((Rp. 157.689.926,42, x 2%) + Rp.57.689.926,42)) = Rp. 160.843.724,95. Dengan demikian, seandainya terjadi keterlambatan 2 hari pun juga tetap dihitung tetap dihitung 1 bulan keterlambatan dan tetap dikenakan denda 2%. Keterlambatan ini pernah dialami oleh suatu penyelenggara telekomunikasi yang besar akibat keterlambatan selama 11 hari dan terpaksanya dihitung juga 1 bulan keterlambatan dan dikenakan denda 2%, yang totalnya mencapai jumlah yang sangat signifikan.
Rincian contoh pengenaan sanksi administrasi berupa denda selama 24 bulan seperti dibawah ini:
Bulan Ke | Pokok (Rp) | Perhitungan Denda (Rp) | Akumulasi Denda (Rp) | Jumlah PNBP Yang Terutang (Rp) |
1 | 100.000.000,00 | 2.000.000,00 | 2.000.000,00 | 102.000.000,00 |
2 | 100.000.000,00 | 4.040.000,00 | 4.040.000,00 | 104.040.000,00 |
3 | 100.000.000,00 | 6.120.800,00 | 6.120.800,00 | 106.120.800,00 |
4 | 100.000.000,00 | 8.243.216,00 | 8.243.216,00 | 108.243.216,00 |
5 | 100.000.000,00 | 10.408.080,32 | 10.408.080,32 | 110.408.080,32 |
6 | 100.000.000,00 | 12.616.241,93 | 12.616.241,93 | 112.616.241,93 |
7 | 100.000.000,00 | 14.868.566,76 | 14.868.566,76 | 114.868.566,76 |
8 | 100.000.000,00 | 17.165.938,10 | 17.165.938,10 | 117.165.938,10 |
9 | 100.000.000,00 | 19.509.256,86 | 19.509.256,86 | 119.509.256,86 |
10 | 100.000.000,00 | 21.899.442,00 | 21.899.442,00 | 121.899.442,00 |
11 | 100.000.000,00 | 24.337.430,84 | 24.337.430,84 | 124.337.430,84 |
12 | 100.000.000,00 | 26.824.179,46 | 26.824.179,46 | 126.824.179,46 |
13 | 100.000.000,00 | 29.360.663,05 | 29.360.663,05 | 129.360.663,05 |
14 | 100.000.000,00 | 31.947.876,31 | 31.947.876,31 | 131.947.876,31 |
15 | 100.000.000,00 | 34.586.833,83 | 34.586.833,83 | 134.586.833,83 |
16 | 100.000.000,00 | 37.278.570,51 | 37.278.570,51 | 137.278.570,51 |
17 | 100.000.000,00 | 40.024.141,92 | 40.024.141,92 | 140.024.141,92 |
18 | 100.000.000,00 | 42.824.624,76 | 42.824.624,76 | 142.824.624,76 |
19 | 100.000.000,00 | 45.681.117,25 | 45.681.117,25 | 145.681.117,25 |
20 | 100.000.000,00 | 48.594.738,60 | 48.594.738,60 | 148.594.738,60 |
21 | 100.000.000,00 | 51.566.634,39 | 51.566.634,39 | 151.566.634,39 |
22 | 100.000.000,00 | 54.597.967,08 | 54.597.967,08 | 154.597.967,08 |
23 | 100.000.000,00 | 57.689.926,42 | 57.689.926,42 | 157.689.926,42 |
24 | 100.000.000,00 | 60.843.724,95 | 60.843.724,95 | 160.843.724,95 |
--------------
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo (Gatot S. Dewa Broto, HP 0811898504, Email: gatot_b@postel.go.id , Tel/Fax: 021.3504024). )