-
Email:
Callcenter_djid@komdigi.go.id -
Call us:
159 -
Webmail:
Surel

- Beranda
- Informasi & Publikasi
- Informasi Terkini
Siaran Pers
Tingkat Kompleksitas dan Harapan Rencana Perumusan Kebijakan Broadband Wireless
Siaran Pers No. 46/DJPT.1/KOMINFO/IV/2006
- Ditjen Postel pada tanggal 25 April 2006 sore ini baru saja menyelesaikan penyelenggaraan Workshop Rencana Perumusan Kebijakan Broadband Wireless. Acara workshop ini secara resmi telah dibuka oleh Menteri Kominfo Sofyan A. Djalil. Acara yang semula hanya terbatas untuk 250 undangan tersebut ternyata dihadiri oleh jumlah peserta yang jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Tampak hadir dalam acara tersebut dari berbagai kalangan seperti misalnya dari operator (ISP, Seluler, Satelit, Data, Telekomunikasi Khusus), pemerintah (Ditjen Postel, Ditjen Aptel, Diknas, Bappenas, Departemen Perindustrian), asosiasi (APJII, IndoWLI, ATSI, ASSI, MASTEL), vendor (Intel, Qualcomm, Alvarion, Aperto, Airspan, dll), akademisi (UI, ITB, TRISAKTI dll) dan berbagai ahli lainnya . Sedangkan dari jajaran pembicara tampak terlihat dari berbagai kalangan seperti misalnya yaitu dari vendor/pabrikan (Intel, Qualcomm, Ericsson dan Samsung), operator telekomunikasi, asosiasi (APJII / Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ATSI / Asosiasi Telephon Seluler Indonesia, dan ASSI /Assosiasi Satelit Indonesia, pakar (KRMT. Roy Suryo dan Barata W. Wardhana), akademisi (Universitas Indonesia), regulator (Ditjen Postel).
- Setelah acara pembukaan, dilanjutkan dengan diskusi dengan topik sesuai dengan pembidangannya secara berturut-turut. Diskusi pertama tentang aspek regulasi dengan moderator Heru Sutadi (BRTI) dan para pembicara: Dr. Ing.Ir. Kalamullah Ramli (Fakultas Teknik UI, Ketua ATSI, Tonda Priyanto (Ketua ASSI) dan Denny Setiawan (Kasubdit Penataan Frekuensi Ditjen Postel). Pada sesi pertama ini, pembahasan mengarah pada bagaimana sebaiknya regulasi dalam penyelenggaraan layanan broadband wireless. Salah satu pembicara menjelaskan potensi kemanfaatan teknologi broadband, yaitu teknologi broadband memiliki potensi kemanfaatan yang sangat besar bagi konsumen dan struktur ekonomi nasional. Dengan kerangka kebijakan yang baik, iklim kompetensi yang sehat dan regulasi terbatas yang tepat, pertumbuhan layanan dan teknologibroadband akan memperkuat demokrasi dan memberdayakan perekonomian di Indonesia. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan harus bersifat open (terbuka): keterbukaan untuk kompetisi ; keterbukaan untuk mengakomodasi berbagai jenis peralatan ; ketersediaan akses seluas-luasnya ; dan ketersediaan dan keterjangkauan teknologi dan layanan broadband untuk berbagai lapisan masyarakat. Beberapa hal yang masih memerlukan perhatian pemerintah yaitu: kebijakan strategis serta bagaimana mengatur sinerji implementasi teknologi 3G dan pesaingnya yaitu WiMAX; pengaturan alokasi frekuensi yang dilisensikan dan tidak dilisensikan (ISM band dan untuk keperluan universitas atau pendidikan); regulasi atas konten layanan; isu regulasi lokal dengan adanya otonomi daerah; dan masalah penyediaan teknisi dan insinyur yang handal dari dalam negeri.
- Dari sisi penyelenggara telekomunikasi seluler memberikan pemikiran untuk penyediaan layanan pita lebar. Di samping itu, empat pilar untuk mencapai tujuan utama untuk meningkatkan akses data berbasis internet yang cepat dengan harga yang terjangkau atas dasar: percepatan penggelaran jaringan akses; utilisasi secara maksimum infrastruktur; efisiensi industri seluler; dan ukungan teknologi yang tepat. Oleh karenanya, isu yang dihadapi oleh operator selular: keterbatasan sumber daya frekuensi; kebijakan yang menguntungkan baik bagi pemain baru maupun pemain eksisting; perbandingan ( best practise ) internasional; dan ketepatan waktu sesuai dengan ketersediaan terminal pelanggan dengan harga yang terjangkau. Lebih lanjut, ATSI memandang bahwa terdapat alternatif teknologi bagi operator selular untuk dapat meningkatkan penyediaan layanan pita lebar dengan didukung oleh regulator. Teknologi dan layanan BWA yang bersifat "portable" akan menjadi pelengkap teknologi dan layanan "3G" yang bersifat "mobile". Efisiensi industri dapat dicapai melalui pemberian lisensi kepada operator seluler karena keunggulan ketersediaan infrastruktur dan pemanfaatan basis pelanggan.
- Kemudian karena spektrum frekuensi yang menjadi kandidat penyelenggaraan broadband wireless mendatang sudah digunakan oleh pengguna eksisting untuk komunikasi satelit maka, dari pihak penyelenggara satelit selanjuitnya membeberkan peranan satelit Indonesia dalam pembangunan ICT di Indonesia. Penyelenggara satelit tetap berkeinginan untuk mempertahankan spektrum frekuensi untuk komunikasi satelit dan orbital Indonesia harus dipertahankan dan dioptimalkan. Menurut ASSI, frekuensi C dan Ext-C sangat diminati, sehingga: t idak mungkin sharing frekuensi antara satelit dan terestrial karena pada prakteknya dilapangan banyak sekali gangguan interferensi ; i nterferensi akibat out of band emission ; satelit mempunyai arti strategis bagi Indonesia dalam proses penyebaran informasi dan pelayanan publik ke seluruh pelosok negara; frekuensi satelit tidak dimungkinkan di-share dengan frekuensi terestrial; operator satelit meyakini bahwa band frekuensi S, C, Ext. C adalah frekuensi yang paling reliable untuk kawasan tropis seperti Indonesia; band 2.5 GHz yang telah ditetapkan oleh ITU untuk layanan Direct Broadcasting Satellite (DBS) dan sangat cocok dengan kondisi Indonesia serta dapat digunakan untuk membendung derasnya pengaruh budaya asing negatif melalui media broadcasting; band 3.5 GHz yang telah ditetapkan ITU untuk layanan FSS (Fixed satellite Services), sangat cocok dengan kondisi Indonesia, sudah banyak digunakan oleh operator Indonesia dan Luar Negeri serta masih punya potensi penambahan transponder; dan proteksi sumber daya pendukung satelit, terutama slot orbit dan alokasi frekuensi menjadi keharusan dan tanggung jawab bersama. Pada akhirnya, saran-saran dari ASSI adalah sebagai berikut: frekuensi satelit tidak di share dengan frekuensi terestrial; SK Dirjen 119/2000 perlu ditinjau ulang; pemerintah mengalokasikan frekuensi BWA di luar frekuensi satelit sehingga satelit dan BWA dapat berkembang bersama dan dapat digunakan untuk mengisi kebutuhan teknologi di daerah terpencil; kandidat frekuensi BWA di band 2.3 GHz dan 5.8 GHz; dan emerintah harus melihat visi luar angkasa sebagai visi super jangka panjang dan tidak bisa diabaikan begitu saja (sesuai amanat hasil Pekan Dirgantara Nasional 2003).
- Dalam sesi penyampaian paparannya, pemerintah sebagai regulator telekomunikasi menyampaikan visinya yaitu bagaimana layanan BWA dapat menurunkan tarif akses internet di Indonesia, penyebaran layanan yang merata keseluruh wilayah Indonesia dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama serta bagaimana agar tarif perangkat CPE yang relatif menjangkau. Perlu dipertimbangkan dengan baik bentuk perizinan yang akan diterapkan baik dilihat dari sisi metoda, wilayah izin, bentuk izin, ekslusifitas serta dengan memperhatikan kondisi eksisting. Permasalahan yang diidentifikasi oleh pemerintah antara lain: terdapat pengguna eksisting yang telah memperoleh izin BWA; penggunaan pita frekuensi yang sama untuk layanan yang berbeda; penyelenggara BWA mencakup semua jenis penyelenggaraan telekomunikasi; terdapat penyelenggara yang hanya meng-kapling frekuensi tanpa membangun jaringannya; adanya pengguna illegal; pengkanalan pita frekuensi BWA belum kompatible dengan pengkanalan teknologi baru (WiMAX); jumlah pemohon yang jauh melebihi ketersediaan spektrum; dan k ompleksitas antara permasalahan teknis dan metoda pemberian izin. Oleh sebab itu, melalui forum workshop ini Ditjen Postel bermaksud mengundang pendapat dari masyarakat mengenai kebijakan-kebijakan yang akan diambil mengenai BWA yang tatacaranya dapat dilihat melalui website Ditjen Postel. Setelah masukan publik diterima Ditjen Postel akan menampilkan seluruh tanggapan yang memenuhi syarat di dalam website Ditjen Postel. Selain itu Ditjen Postel akan menyusun draft regulasi dan kebijakan penyelenggara BWA, berdasarkan masukan dan tanggapan yang masuk. Bilamana dianggap perlu, Ditjen Postel akan mengundang pihak-pihak kompeten. Diharapkan draft regulasi dan kebijakan, dapat dipublikasikan kepada publik dalam jangka waktu 2 bulan.
- Adapun sejumlah pertanyaan dan komentar yang disampaikan oleh audiens dalam sesi ini: untuk menekan harga internet dari Indonesia disarankan menarik kabel FO dari Indonesia ke Hongkong atau Honolulu; bagaimana konsep kebijakan pemerintah untuk broadband harus ada tujuan yang tegas dari pemerintah, saat ini disinyalir adanya pelanggaraan dan tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah; tujuan dari konsultasi publik yang diadakan pemerintah; apa peranan perguruan tinggi terhadap pengembangan ICT; pengalaman sharing antara satelit dan terestrial tidak efektif, apakah selanjutnya akan diteruskan sharing ini; bagaimana posisi industri satelit di Indonesia apakah akan tetap dipertahankan; bagaimana nilai ekonomis dari teknologi broadband dan bagaimana manfaatnya bagi masyarakat; dan action llan atau rencana pemerintah dalam menyusun kebijakan broadband wireless. Saran yang terkompilasi dari sesi ini adalah: penguna eksisting agar diperhatikan dan tidak menjadi korban penyelenggaraan baru; perlu diperhatikan sinergi antara operator eksisting dan juga mengencorage pengusaha-pengusaha baru; agar dalam memutuskan siapa yang menjadi penyelenggara BWA dilakukan seleksi; dan kebijakan WiMAX segera ditetapkan.
- Aspek pembahasan berikutnya adalah tentang tehnologi. Pada sesi ini diisi oleh para pembicara dari beberapa vendor teknologi yang berbeda yaitu Intel, Qualqomm, Airspan dan Ericsson. Intel mengemukakan potensi teknologi WiMAX ke depan. Sedangkan Qualcomm mengemukakan beberapa hal penting tertentu, seperti misalnya secara teknik (data, kapasitas, wilayah, dan spektrum alokasi 3G lebih baik dari mobile WiMAX; secara time to market (3G telah lebih dulu masuk ke pasar disamping telah bisa diaplikasikan di PC, Laptop dan PDA; secara harga (harga hanset 3G lebih murah. Dan diperkirakan pengguna 3G lebih banyak dibanding WiMax; dan secara bisnis (harga yang ditawarkan oleh 3G lebih murah sehingga perlu model bisnis yang sangat baik untuk dapat bersaing. Akan halnya Airspan sebagai salah satu vendor yang telah mendapatkan sertifikasi WiMAX dari Wimax Forum menjelaskan visi interoperability dari berbagai standar yang ada yang dirumuskan oleh WiMAX forum. Lebih lanjut terungkap, bahwa y ang paling banyak permohonan untuk mendapatkan sertifikasi di WiMAX Forum adalah untuk perangkat-perangkat di frekuensi 3,5 GHz dibandingkan 5,8 GHz.
- Pertanyaan-pertanyaan dari para peserta di antaranya adalah sebagai berikut: di satelit 3,5 GHz dianggap sangat strategis. Disarankan penggelaran WiMAX di Indonesia dimulai pada frekuensi 5,8 GHz; kalau untuk jalan sekarang maka harus menggunakan 3.5 GHz karena perangkat yang tersedia dalam waktu dekat ini adalah perangkat di pita 3,5 GHz. Sedangkan untuk perangkat pada 5,8 GHz masih menunggu sertifikasi; bagaimana jalan keluar untuk CAPEX yang telah ditanamkan operator satelit berkaitan dengan frekuensi yang bersinggungan antara layanan satelit dan WiMAX. CAPEX yang telah dikeluarkan oleh operator satelit merupakan resiko bisnis yang harus ditanggung para operator satelit, segala resiko ini harus dicari jalan keluarnya bersama-sama; interoperability diharapkan terjadi diseluruh dunia agar dapat digunakan di seluruh dunia sehingga dapat cepat menurunkan harga.
- Terhadap Qualcomm sempat ditanyakan tentang d ata pengguna 3G dan WiMAX yang ada di Qualcomm. Terhadap pertanyaan ini, Qualcomm menjelaskan, bahwa mengingat pelanggan 3G masih akan lebih banyak daripada pengguna WiMAX maka untuk layanan mobilitas penuh tetap mengutamakan teknologi yang berbasis 3G. WiMAx lebih baik difokuskan untuk aplikasi mobilitas terbatas atau portabel. Sedangkan terhadap pertanyaan yang mempertanyakan apakah perangkat yang ada di WiMAX dapat untuk digunakan secara bersama dengan frekuensi yang ada, maka pihak Intel mengatakan, bahwa s haring dapat dilakukan pada tempat, waktu, dan frekuensi yang berbeda. Karena sharing frekuensi memerlukan koordinasi yang lebih dalam, perlu ditekankan terlebih dahulu penggunaan pada tempat atau waktu yang berbeda. Akan halnya Qualcomm, diresponnya, bahwa Qualcomm memiliki pandangan untuk menyeragamkan penggunaan frekuensi untuk WiMAX di seluruh dunia, sehingga dapat lebih menjamin interoperabilitas. Selain itu ada juga yang mempertanyakan tentang b erapa lama pengembangan CDMA di China, dibanding dengan WiMAX. Terhadap soal ini, Qualcomm mengatakan, bahwa setiap teknologi baru memerlukan waktu untuk dapat mencapai kedewasaannya. Demikian juga dengan penggelaran WiMAX di suatu negara pasti akan memerlukan beberapa waktu untuk dapat diterima dan berkembeng sesuai dengan yang direncanakan.
- Aspek operasional merupakan sesi terakhir yang menjadi topik diskusi dengan para pembicara, yaitu Taufik Hasan (Kepala Divisi Risti Telkom, Sylvia Sumarlin (Ketua APJII), Barata W. Wardhana (Indo WLI) dan Roy Suryo (Pengamat Telematika) dengan moderator Alexander Rusli (Staf Khusus Menteri Depkominfo). Menurut Taufik Hasan, layanan broadband diperlukan karena: berkembangnya pertukaran informasi yang perlu pita lebar yaitu : data kecepatan tinggi, gambar dengan resolusi tinggi, video, dll; munculnya konvergensi layanan, seperti: akses internet sambil melakukan percakapan telepon, interaktive TV dan lain lain; meningkatnya kebutuhan penggunaan layanan dalam bentuk bit stream, layanan analog (seperti suara dan gambar) juga dikonversikan ke dalam bit strem; dan IP Dominance, Trend Protokol Telekomunikasi akan berbasis IP.
- Ancaman bagi operator incumbent meliputi: sangat bergantung pada jaringan fisik sehingga kebutuhan spektrum frekuensi kurang diperhatikan; kondisi wireline tidak seluruh jaringan memiliki kualitas yang baik untuk layanan broadband; peluang pemain baru cara cost effective dalam mem-bypass fixed local loop; kompetisi broadband dengan operator lain semakin meningkat, terutama layanan broadband utk corporate; dan potensi jaringan IP BWA untuk mendorong penggunaan VoIP, yang mendorong penurunkan tarif. Sebaliknya, peluangnya adalah: cara yang lebih cost effective dalam menggelar jaringan terutama untuk area yang kurang terlayani; dapat memperkaya tawaran dengan limited mobility, yang dapat mengurangi migrasi fixed to mobile; dan dapat mengurangi kanibalisasi, dengan pemanfaatan kelebihan BWA secara seimbang. Masih menurut Telkom, konsekuensi penggelaran BWA: pemilihan teknologi dan konsekuensi sumber daya yang diperlukan, kasus kebutuhan pita frekuensi: Untuk 3G/WCDMA, 1 carrier memerlukan 5MHz dan CDMA2000 EVDO cukup 1 carrier 1,25MHz; tingkat QoS harus senantiasa prima, sehingga diperlukan SDM, NMS, jaringan, perangkat, organisasi dan SIM yang handal; dan sistem Charging dan Billing harus sangat handal agar mampu mengelola multi layanan. Oleh karenanya, Telkom harus menggelar layanan broadband salah satunya adalah Tuntutan sebagai penyelenggara telekomunikasi nasional untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Sehingga. a ktivitas TELKOM dalam p enggelaran layanan broadband : m elakukan "FO-nisasi", untuk Jawa telah terbentuk topologi ring (Northern dan Southern Route) STM-64; "IP-nisasi" dengan membangun IP Core; mengimplementasikan jaringan akses dengan IP-DSLAM xDSL (Speedy), Metro Ethernet, HFC, IP-VSAT (Divre-7), BWA (pre-WiMAX), Flexi Data, Frame Relay sampai dengan dialup TELKOMNet Instant; menggelar softswitch kelas 4 dan kelas 5 baik untuk wireline maupun FWA; dan mengubah network menjadi NGN. Sebagai p enutup, Telkom menyimpulkan, bahwa: broadband dengan segala potensinya perlu dimanfaatkan; berbagai jenis broadband, untuk yang nirkable, perlu pengaturan yang disesuaikan dengan tujuan kebijakan pemerintah secara umum dan sasaran pengembangan industri; pengaturan spektrum untuk broadband wireless, perlu memperhatikan aspek teknis dan ekonomi/bisnis; dan bagi TELKOM, wireless broadband merupakan peluang yang menjadi komplemen dari teknologi yang ada.
- Pada presentasi berikutnya, Sylvia Sumarlin menjelaskan, bahwa ISP membutuhkan infrastruktur untuk mendelevery data dan konten internet sementera infrastruktur yang ada baik melalui dial-up maupun akses broadband sangat terbatas. Sehingga ISP ingin memiliki infrastruktur sendiri. Di samping itu, APJII berpendapat bahwa wimax bukan killer application terhadap 3G tetapi saling mendukung; dan akhirnya ISP / APJII menunggu WiMAX. Pembicara berikutnya adalah Barata W. Wardhana, yang meng-highlight sejumlah entitas yang berpotensi bagi bagi pengembangan BWA, yaitu universitas/sekolah (Campus Hot Spot); E-Learning and Streaming Systems; publik area: airport, stasiun kereta/bus, tol rest area, supermarket (point of sales); recreation area; pantai (Bali area); peristirahatan (Puncak, Batu, Prapat dan lain-lain); r umah sakit; dan rural area.
- Roy Suryo sebagai pembicara terakhir pada sesi ini menjelaskan secara sistematis, bahwa b erangkat dari Action Plan dari World Summit on the Information Society, maka seluruh desa telah terhubung pada tahun 2010, terhubung dengan sebuah Community Access Point pada tahun 2015; seluruh universitas telah terhubung pada tahun 2005 dan seluruh tingkat SMA-SMP tahun 2010 dan seluruh SD tahun 2015; seluruh rumah sakit telah terhubung pada tahun 2005 dan Pusat Kesehatan pada tahun 2010; wireless telah menjangkau 90% dari penduduk dunia pada tahun 2010 dan 100% pada tahun 2015; dan seluruh institusi pemerintah pusat telah memiliki website dan alamat email pada tahun 2005 dan seluruh Institusi Pemerintah Daerah pada tahun 2010. Namun demikian, kondisi sistem informasi saat ini menunjukkan adanya inkonsistensi data dan informasi; infrastruktur tidak memadai; tuntutan kebutuhan masyarakat yang lebih kompleks; sistem Kkeamanan tidak memadai dan tidak ada audit; adanya pulau-pulau informasi; dan harapan pemprov dan pemkot yang kadang krusial. Menurut Roy, fenomena yang menonjol di tahun 2006: pemerintah umumkan Tender 3-G, 7-8 Februari 2006 artinya adanya peta baru telekomunikasi seluler muncul di Indonesia, karena selain CAC & NTS, kini muncul Telkomsel, XL dan Indosat memasuki "3G Club"; s aat WiMAX mulai ditawarkan, WiFi mulai "diramaikan" Masyarakat trauma "carut-marut" kebebasan absolut WiFi 2.4GHz; RUU-ITE / embrio CyberLaw dibahas di Komisi 1 DPR-RI , sehingga nantinya File elektronik berupa CDR, Print-out SMS, dsb akan menjadi Alat Bukti ; dan e foria demokrasi dan domino-effect kasus lainnya seperti penolakan masyarakat terhadap BTS, SUTET, Demo, dan lain sebagainya yang mengarah pada aksi vandalistis. Sebagai penutupnya, menurut Roy, yang perlu dicermati adalah bahwasanya: adanya equal treatment untuk tidak drive oleh kelompok kepentingan tertentu; alokasi frekuensi oleh regulasi harus segera diperjelas dengan pertimbangan yang baik; jika tidak diregulasi akan terjadi seperti di 2,4 GHz; win-win solution; dan mekanisme pemberian license perlu dicermati apakah berbentuk lelang, beuty contest dan lain-lain.
- Setelah sesi terakhir selesai kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel dengan menghadirkan sebagian besar pembicara dengan moderator Jonathan Parapak (mantan Sekjen Depparpostel). Keseluruhan rangkaian acara workshop ini ditutup secara resmi oleh Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar, yang di antaranya mengutip salah satu pernyataan yang dikemukakan oleh Menteri Kominfo pada saat pembukaan, bahwa realita harus diakui pemerintah sedang berusaha sebaik mungkin akan melakukan perumusan kebijakan broadband wireless secara terbuka, transparan dan seoptimal mungkin, meskipun juga harus diakui bahwa apapun bentuk kebijakan itu tentu tidak dapat memuaskan seluruh pihak.
- Materi setiap materi nara sumber akan dapat di-down load melalui website ini mulai tanggal 27 April 2006 setelah selesainya sistematika penyusunan naskah.
Kepala Bagian Umum dan Humas,
Gatot S. Dewa Broto
HP: 0811898504
Email: gatot_b@postel.go.id.