-
Email:
callcenter_sdppi@kominfo.go.id -
Call us:
159 -
Webmail:
Surel
- Beranda
- Informasi & Publikasi
- Informasi Terkini
Siaran Pers
1. U M U M
a.Masukan yang disampaikan sangat bermanfaat terhadap proses finalisasi dari Rancangan Peraturan Menteri (RPM) dimaksud dan untuk memperkaya materi pengaturannya.
b.Dari masukan yang diterima terdapat dua jenis masukan yaitu penyempurnaan tekstual draft legal dan penyempurnaan dari materi pengaturan.
c.Sosialisasi yang kurang dari materi pengaturan dan deliverables hasil perkerjaan konsultan independen yang ditunjuk bersama menyebabkan terdapat perbedaan pendapat terhadap materi dan rekomendasi yang disampaikan;
d.Terhadap penyempurnaan tekstual dari draft legal, akan dilakukan penyesuain yang tepat, sedangkan penyempurnaan materi akan lebih disempurnakan dalam pembahasan bersama;
e.Sebagai bahan awal pembahasan, disusun tanggapan Ditjen Postel dengan merangkum tanggapan dari masukan-masukan yang bersesuaian. Diharapkan tanggapan tersebut menjadi acuan dalam pembahasan yang dilakukan secara bersama-sama, sebagai upaya dalam mengefisienkan dan mengefektifkan pembahasan.
2. ISU-ISU UTAMA
2.1 Pokok Pikiran
a.Pokok Pikiran RPM adalah memberikan kerangka bagi regulator dan penyelenggara dalam perannya untuk pengaturan interkoneksi. RPM mendefinisikan peran masing-masing dalam proses interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi.
b.Sebagai kerangka, maka RPM lazimnya tidak akan mengatur secara detail dari bisnis penyediaan interkoneksi, tetapi memberikan batasan seluas-luasnya bagi penyelenggara dalam meminta dan menyediakan interkoneksi;
c.Dengan demikian beberapa pengaturan dalam RPM semisal jenis interkoneksi, besaran biaya interkoneksi, titik interkoneksi dan akses terhadap fasilitas penting, tidak dapat secara kaku mengatur praktek interkoneksi satu penyelenggara. Akan tetapi RPM juga memberikan kepada satu operator untuk menawarkan praktek interkoneksinya seluas-luasnya dalam batasan yang ditetapkan.
d.Pokok pikiran RPM tersebut perlu disadari bersama untuk mengetahui posisi RPM terhadap masing-masing penyelenggara dan regulator, sehingga RPM tidak dipandang akan merugikan masing-masing pihak apabila bentuknya sedemikian.
2.2 Hirarki RPM tentang Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi
a.RPM ini adalah suatu pengaturan interkoneksi berbasis biaya tahap awal dengan mangadopsi prinsip-prinsip interkoneksi berbasis biaya dalam industri yang kompetitif. Dengan sifatnya yang merupakan langkah awal dari pengaturan interkoneksi berbasis biaya, diharapkan RPM akan bergerak seiring waktu kepada bentuk yang ideal.
b.Disadari untuk mencapai posisi ideal dibutuhkan waktu, seiring perkembangan industri. Hal ini dilakukan untuk tidak mendistrosi industri yang bergerak dalam pertumbuhan.
c.Penyempurnaan RPM akan dilakukan tahun depan sejalan dengan rekomendasi dari konsultan independen, termasuk perhitungan besaran biaya interkoneksinya.
d.Hirarki RPM terdiri dari 1 (satu) batang tubuh dan 6 (enam) lampiran sebagai satu kesatuan utuh.
e.Batang tubuh merupakan aturan pelaksanaan interkoneksi yang menjadi landasan dalam pelaksanaan interkoneksi. Pada tahap awal, batang tubuh RPM dianggap sudah cukup untuk mengatur pelaksanaan interkoneksi yang sepenuhnya belum kompetitif. Hal ini juga disebabkan, pada praktek global, aturan pelaksanaan interkoneksi sebagai regulasi tidak harus mengatur detail dari bisnis pelaksanaan interkoneksi.
f. Lampiran merupakan aturan yang lebih detail dari pengaturan interkoneksi yang mengatura aspek teknis, operasional dan komersil. Perlu disadari, RPM ini tidak perlu mencantum kembali ketentuan teknis interkoneksi dalam FTP revisi 2003. Hal ini disebabkan ketentuan dalam FTP revisi 2003 tersebut tetap berlaku.
2.3 Judul RPM tentang Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi
a.Berdasarkan ketentuan dalam PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan KM 29/2004 tentang Penyempurnaan KM 20/2001 serta KM 30/2004 tentang Penyempurnaan KM 21/2001, ditetapkan bahwa interkoneksi terjadi antar jaringan telekomunikasi.
b.Hal lainnya yang diatur dalam PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi adalah jenis interkoneksi hanya terdiri dari terminasi, sedangkan dalam KM 29/2004 tentang Penyempurnaan KM 20/2001 serta KM 30/2004 tentang Penyempurnaan KM 21/2001 secara implisit menetapkan adanya layanan originasi dan transit.
c.Memang secara teknis tidak dapat dipungkiri bahwa interkoneksi adalah ketersambungan secara fisik dari jaringan telekomunikasi, sehingga dalam ketentuan umum definisi interkoneksi tetap demikian. Definisi akan disesuaikan menjadi " Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi yang berbeda";
d.Akan tetapi terhadap judul dari RPM, perlu dicermati dan dibijaki bahwa tidak tertutup adanya interkoneksi antara penyelenggara jasa baik yang memiliki jaringan ataupun tidak dengan penyelenggara jaringan. Demikian hal juga terlihat dari besaran biaya interkoneksi yang direkomendasikan oleh konsultan.
e.Dengan judul RPM yang demikian dan materi pengaturannya, masih tetap konsisten dengan prinsip utama bahwa interkoneksi terjadi pada level fisik (jaringan), dan tetap mewadahi pengaturan yang lebih luas dari praktek interkoneksi yang ada baik atara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jaringan maupun interkoneksi antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa.
2.4 Materi RPM tentang Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi
2.4.1 Ketentuan Umum
a.Defenisi dalam ketentuan umum mengacu kepada istilah yang ada dalam batang tubuh RPM, sedangkan istilah yang lebih lengkap dan teknis didefenisikan dalam lampiran, semisal mediasi, arbitrase dan lain-lainnya.
b.Defenisi penyedia akses dan pencari akses mempertegas bahwa posisi tersebut dapat digunakan lebih luas yakni dalam mencari atau menyediakan suatu akses atau layanan interkoneksi.
c.Beberapa istilah yang disampaikan akan dijelaskan dalam tanggapan dari materi lainnya dalam RPM dibawah ini;
2.4.2 Posisi Direktur Jenderal
a.Berdasarkan ketentuan dalam KM 31/2004 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dimana BRTI adalah Direktorat Jenderal dan Komite Regulasi Telekomunikasi, keputusan BRTI adalah Kepdirjen dan bertugas melaksanakan wewenang Menteri dalam pengaturan termasuk pengaturan interkoneksi.
b.Mengingat keputusan BRTI adalah kepdirjen, maka untuk lebih mempertegas proses (alur proses dalam BRTI sendiri) maka Dirjen bertindak sebagai front desk dan Direktur Jenderal dalam konteks ini tetap dalam kerangka BRTI, dan kembali ditegaskan bahwa dalam mengambil keputusan Dirjen wajib menyertakan BRTI (Direktur Jenderal sebagai bawahan menteri dan Komite Regulasi Telekomunikasi).
c.Hal ini dimaksudkan untuk membangun proses yang efisien dan efektif dalam kerangka BRTI untuk berperan dalam proses pengaturan interkoneksi yang diatur oleh RPM.
2.4.3 Jenis interkoneksi
a.Jenis interkoneksi dikategorikan dari jenis pembangkitan (originasi), penyaluran (transit) dan pengakhiran (terminasi) trafik interkoneksi.
b.Ketiga jenis tersebut dapat terjadi pada penyelenggara telekomunikasi baik penyelenggara jaringan tetap dan jaringan bergerak. Dalam batang tubuh RPM hal ini tidak perlu dicantumkan mengingat defenisinya dijabarkan dalam bentuk operator-POI-operator, dimana operator dapat bertindak sebagai penyelenggara jaringan bergerak atau jaringan tetap.
c.Penjelasan lebih lanjut dari ketiga jenis interkoneksi tersebut secara spesifik akan dijelaskan dalam materi jenis layanan dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) dan call scenario dalam lampiran III.
d.Pengaturan detail dari jenis layanan interkoneksi dalam batang tubuh RPM tidak dilakukan karena pola penyediaan layanan interkoneksi tersebut akan berkembang, sedangkan batang tubuh hanya mengatur ketentuan pokok dari ketiga jenis interkoneksi.
e.Pendefinisian ketiga jenis layanan dilakukan dengan pola operator-POI-operator, tidak detail dari titik awal pembebanan, titik tujuan atau titik akhir. Hal ini disebabkan dalam pendefinisian routing factor dalam lampiran III, elemen jaringan yang bertindak sebagai titik tersebut telah didefenisikan dan titik pembenan telah dengan baik didefinisikan.
2.4.4 Besaran Biaya Interkoneksi
a.Besaran yang ditetapkan sesuai dengan rekomendasi dari konsultan adalah besaran maksimum, mengigat perhitungan dilakukan berdasarkan data tahun 2003. Penetapan besaran maksimum tersebut juga didasarkan untuk mendorong penyediaan layanan interkoneksi yang lebih kompetitif;
b.Penyelenggara sesuai dengan ketentuan dalam UU 36/1999 dan PP 52/2000 dapat menghitung besaran biaya interkoneksi berdasarkan formula yang ditetapkan, dalam hal ini regulator akan tetap memegang batasan di atas dalam melakukan evalusi;
c.Penyelenggara dapat melakukan penyesuaian dari besaran biaya interkoneksi sesuai dengan komitmen-komitmen antar para penyelenggara yang berinterkoneksi. Penyesuaian ini dilakukan dengan parameter nilai ekonomis yang harus diberlakukan sama terhadap semua penyelenggara dan dicantumkan dalam DPI-nya.
2.4.5 Titik Pembebanan
a.Titik pembebanan adalah referensi dalam menetapkan beban kepada pengguna. Hal ini digunakan untuk menentukan jenis interkoneksi yang disediakan, disamping itu untuk menjaga konsistensi penyediaan layanan inbound dengan layanan interconnect.
b.Perlu disadari bahwa dalam rekomendasi konsultan, ditetapkan pembebanan adalah POI to B# atau #A to POI dengan tetap memperhatikan jenis panggilan dari pembebanan kepada pengguna dan telah diterima bersama.
c.Pada tahap awal sesuai dengan rekomendasi dari konsultan titik pembeban terdiri dari pembebanan lokal dan pembebanan jarak jauh. Dengan defenisi titik pembebanan tersebut di atas, maka secara implisit mendefenisikan pembebanan lokal dan pembebanan jarak jauh.
d.Memperhatikan rekomendasi konsultan yang telah diterima bersama, maka defenisi dari originasi dan terminasi dengan kondisi far-end dan near-end, pada tahap awal akan diakomodasikan. Hal ini memang tidak ideal dalam konteks interkoneksi berbasis biaya, dan akan disempurnakan dalam perhitungan biaya interkoneksi selanjutnya.
2.4.6 Pembebanan
a.Konsep pembebanan biaya interkoneksi dalam RPM dilakukan oleh penyelenggara yang mempunyai tanggung jawab terhadap panggilan interkoneksi (penyelenggara pemegang tarif pungut) kepada para penyelenggara yang terlibat dalam menyalurkan panggilan (distributed mechanism).
b.Konsep ini lebih umum dan dapat mengakomodasikan model lain yang disepakati oleh para penyelenggara. Semisal model cascade dapat diterapkan apabila para pihak menyepakati, penyelenggara yang tanggung jawab terhadap panggilan interkoneksi mendelegasikan kewajiban pembebannya kepada penyelenggara lain atas dasar kesepakatan bersama.
c.Konsep ini juga lebih umum terhadap pola penagihan yang akan dilakukan. Pada dasarnya konsep pembebanan ini akan diatur dalam DPI oleh masing-masingpenyelenggara.
2.4.7 Time frame dalam RPM
Time frame dalam proses interkoneksi diusulkan dengan mempertimbangkan pengalaman dalam proses-proses selama ini. Akan tetapi time frame tersebut tidak tertutup untuk disesuaikan memperhatikan kemampuan regulator dan penyelenggara telekomunikasi.
2.4.8 Standard Akuntasi
a.Standard akuntasi yang dirumuskan adalah dasar dalam mengambil beberapa data masukan dalam perhitungan LRIC Bottom Up yang sangat penting dan merupakan pokok pikiran dalam Regulatory Financial Return.
b.Tujuan dari Prinsip Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Standard akuntasi adalah berbeda, dimana sifat standard akuntansi dalam RPM adalah wajib bagi semua operator yang mempunyai hak dan kewajiban dalam berinterkoneksi.
2.4.9 Laporan kepada Regulator dan formula perhitungan
a.Laporan kepada regulator disusun untuk melaporkan perhitungan dan besaran biaya interkoneksi kepada regulator;
b.Unsur kerahasian terhadap laporan tersebut akan diterapkan oleh regulator.
c.Besaran biaya yang ditetapkan adalah besaran maksimum, dalam hal penyelenggara berpendapat bahwa besaran biaya yang ditetapkan adalah besaran biaya yang diterima, maka penyelenggara dapat tidak melakukan perhitungan besaran biaya interkoneksi berdasarkan formula perhitungan.
d.Apabila penyelenggara berpendapat lain, dalam hal ini besaran biaya interkoneksinya lebih rendah, maka penyelenggara dapat menyampaikan besaran tersebut dengan formula perhitungan yang ditetapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya predatory pricing dan anti kompetisi.
2.4.10 P2DPI
a.P2DPI tidak mengatur format DPI tetapi struktur dari DPI dan struktur dari materi DPI. Pada tahap awal regulator menetapkan struktur dan operator akan mengusulkan formatnya sepanjang tidak melanggar ketentuan materi dan isi. Dalam hal beberapa negara telah menetapkan format DPI, hal tersebut telah melalui proses panjang, dan adopsi format suatu negara tidak selalu dapat diaplikasikan ke kondisi Indonesia.
b.Struktur Perjanjia Kerja Sama (PKS) dalam DPI adalah struktur PKS yang ditawarkan oleh penyelenggara dalam perjanjian interkoneksinya setelah RPM berlaku, sedangkan PKS eksisting dapat dipertahankan apabila kedua belah pihak sepakat.
2.4.11 Penyelesaian Perselisihan
a.Penyelesaian perselisihan dalam RPM adalah kerangka oleh regulator dalam menjalankan tugasnya sebagai regulator dalam interkoneksi. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, regulator bertugas menyelesaikan perselisihan antar penyelenggara.
b.Dalam konteks ini regulator tidak bertindak atas UU 30/1999 tentang lembaga arbitrase, tetapi bertindak atas UUD 1945 dan UU 36/1999. Dalam konteks ini, RPM memberikan kerangka legal bagi regulator untuk bertindak.
c.Penyelenggara dapat menyelesaikan perselisihan lewat lembaga arbitrase sesuai UU 30/1999 apabila mempunyai klausul arbitrase. Dalam hal ini, perikatan tersebut dalam kerangka RPM terjadi pada kesepakatan interkoneksi.
2.4.12 Sanksi
a.Penetapan sanksi terhadap pelanggaran RPM memang perlu di pertimbangkan dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.Regulator dalam hal ini harus diperkuat untuk dapat memberikan jastifikasi sendiri (self assesment) terhadap kewajiban penyelenggara dalam hal penyelenggara tidak memenuhi kewajibannya.
c.Sifat pengaturan dalam RPM memandang industri sebagai satu entity, sehingga baik penyelenggara dominan maupun non dominan yang tidak memenuhi aturan dalam RPM yang berkesinambungan akan ditinggalkan, sehingga dengan RPM akan menjadi keharusan bagi semua pihak dalam industri.